Tolak Penjegalan Demokrasi: MA Vonis Bebas Aktivis HAM Haris-Fatia dari Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik Pejabat Pemerintahan

30 September 2024 | 14
Dokumentasi - Terdakwa Direktur Lokataru Haris Azhar (kanan) dan mantan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri) melakukan selebrasi ke pendukungnya usai sidang lanjutan di Pengadllan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/YU/aa.

Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ternyata berujung Panjang. Kasus yang berawal dari laporan dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, yang dilayangkan kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena keduanya membahas konten dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” yang tayang di kanal Youtube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021.

 

Dari konten tersebut, Luhut mengaku tidak terima dianggap sebagai penjahat dan ‘lord’ oleh terdawa Haris Azhar dalam unggahan Youtube tersebut. Menurutnya hal tersebut telah merugikannya secara moral karena dianggap sebagai penjahat dan pencuri. Meski demikian, Luhut menyatakan bahwa ia telah meminta maaf dan menyelesaikan persoalan ini dengan baik-baik, tetapi hal tersebut tak digubris oleh Haris.

 

Sementara itu, publik menyoroti kasus Haris-Fatia ini sebagai bentuk penjegalan terhadap kebabasan berekspresi. Laporan terhadap Haris-Fatia yang melalui serangkaian persidangan tersebut, menuntut Haris-Fatia agar menghapus video YouTube tersebut. Namun, Haris-Fatia mengklaim bahwa mereka tidak melakukan tindak pidana apapun tentang video tersebut dan kemudian mengajukan nota pembelaan atau pledoi. Dalam nota pembelaannya, mereka memohon agar keduanya dapat dibebaskan dari dari dakwaan dan tuntutan tersebut. Tak hanya itu, Haris-Fatia juga memohon agar Majelis Hakim bisa membedakan antara kritikan dan hinaan. Hal ini dikarenakan, video Youtube yang mereka unggah tersebut merujuk pada hasil riset dan bukan berasal dari analisis pribadi semata. Diketahui bahwa Haris adalah mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Fatia adalah Koordinator KontraS.

 

Pada putusan tingkat pertama, fakta persidangan menunjukan adanya conflict of interest oleh Luhut Binsar Panjatan terkait praktik pertambangan di Papua. Fakta tersebut ditemukan dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining. Luhut terdeteksi sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya ia mendapatkan lapoaran keuangan perusahaan, sehingga mustahil bagi Luhut untuk tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.

 

Pada sidang pembacaan vonis, 8 Januari 2024, hakim membebaskan keduanya. Majelis hakim menganggap bahwa tidak ada unsur hukum yang bisa terpenuhi dalam tuntutan pertama pada dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut. Atas dasar tersebut, Majelis Hakim menyatakan Haris-Fatia dibebaskan dari tuntutan.

 

Meski demikian, dakwaan terhadap Haris-Fatia nyatanya tak berhenti di situ. Setelah Hakim menyatakan putusannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur yang menangani kasus tersebur, langsung menyatakan kasasi. Terdapat tiga dakwaan yang didakwakan kepada Haris-Fatia yaitu: Pertama, Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik. Kedua, dakwaan primer Pasal 14 ayat (2) UU No 1 Tahun 1946 terkait penyebaran berita bohong, dakwaan subsider: Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946. Ketiga, Pasal 310 ayat (1) KUHP terkait penghinaan.

 

Pada 11 September 2024, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan oleh JPU. Putusan ini memperkuat vonis bebas terhadap Haris-Fatia pada putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur. Terhadap perkara nomor 5712 K/Pid.Sus/2024 dan 5714 K/Pid.Sus/2024, keduanya diputus oleh tiga majelis hakim yakni Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum. (Ketua), Ainal Mardhiah, S.H., M.H. (Anggota Majelis 1), dan Sutarjo, S.H., M.H. (Anggota Majelis 2).

 

Putusan MA yang menolak kasasi dari JPU ini, menjadi penanda terhadap kebenaran hasil riset yang disusun oleh 9 organisasi yakni YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia. Riset tersebut mencakup analiasis mengenasi pengerahan kekuatan militer Indonesia secara ilegal di wilayah Pegunungan Tengah Papua yang telah menyebabkan peningkatkan konflik bersenjata antara TNI-Polri dan kelompok pro-kemerdakaan Papua, serta kekerasan dan terror terhadap masyarakat.

 

Tak hanya itu, hasil riset tersebut juga menunjukkan hasil analisis spasial terkait lokasi pos militer dan kepolisian di sekitar konsesi tambang, yang disinyalir memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan beberapa jenderal, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan. Dengan adanya putusan MA tersebut, Haris menyarankan kepada pihak yang berwenang untuk dapat menindaklanjuti temuan dari laporan dan hasil riset itu.

 

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...