Pertanyaan:
“Hallo mimin! Perkenalkan aku Genta dan aku adalah mahasiswa dari Universitas Airlangga. Aku mau tanya mengenai apa yang dimaksud dengan Justice Collaborator? Apa yang menjadi aturan bagi terdakwa yang termasuk dalam Justice Collaborator? Terima kasih mimin.“
Jawaban:
Halo Sobat Justitia! Terima kasih atas pertanyaannya!
Sebelum kita mengetahui dasar peraturan yang dimaksud perlu diketahui mengenai pengertian dari Justice Collaborator itu sendiri. Justice Collaborator merupakan sebutan bagi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu. Secara sederhana, arti Justice Collaborator adalah pelaku kejahatan yang memberikan keterangan dan bantuan kepada para penegak hukum. Seorang justice collaborator memiliki dua peran sekaligus, yakni sebagai tersangka sekaligus saksi yang harus memberikan keterangan dalam persidangan.
Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia justice collaborator dikenal dengan istilah “saksi pelaku” dan/atau “saksi pelaku yang bekerja sama”. Justice Collaborator diatur dalam beberapa peraturan, antara lain UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 31 Tahun 2014; Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK Ketua Ketua LPSK Nomor M.HH-11.HM.03.02, PER-045/A/JA/12/2011,1, KEP-B-02/01-55/12/2011, 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (“Peraturan Bersama Perlindungan Saksi”); dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 (“SEMA 4/2011”).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 2 UU No. 31 Tahun 2014 menjelaskan bahwa saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Kemudian dalam Pasal 1 Angka 3 Peraturan Bersama tentang Perlindungan Saksi menerangkan bahwa saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Seorang Justice Collaborator memiliki hak atas perlindungan secara fisik, psikis, penanganan secara khusus, dan penghargaan yang dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bersama Perlindungan Saksi. Adapun yang dimaksud penanganan secara khusus menurut Pasal 6 ayat (3) Peraturan Bersama Perlindungan Saksi dapat berupa:
- Pemisahan tempat penahanan, kurungan, atau penjara dari tersangka, terdakwa dan/atau narapidana lain dari kejahatan yang diungkapkan dalam hal Justice Collaborator ditahan atau menjalani pidana badan.
- Pemberkasan perkara sedapat mungkin dilakukan terpisah dengan tersangka dan/atau terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilaporkan atau diungkap.
- Penundaan penuntut atas dirinya
- Penundaan proses hukum (penyidikan dan penuntutan) yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan/atau kesaksian yang diberikannya.
- Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukan wajahnya atau tanpa menunjukan identitasnya.
Bentuk penghargaan yang dimaksud sebagai diatur dalam Pasal 6 ayat (4) Peraturan Bersama Perlindungan dapat berupa:
- Keringanan tuntutan hukuman, termasuk menuntut hukuman percobaan.
- Pemberian remisi tambahan dan hak-hak narapidana (jika justice collaborator adalah seorang narapidana)
Untuk mendapatkan perlindungan, seorang justice collaborator harus memenuhi aturan yang ditetapkan dalam Pasal 4 Peraturan Bersama Perlindungan Saksi yakni:
- Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir.
- Memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir.
- Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya.
- Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis.
- Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Sekian informasi yang dapat kami berikan, semoga dapat membantu Sobat Justitia untuk dalam memahami peraturan mengenai memasuki jalan utama ya!