Advokat dan Marwah Pengadilan: Kode Etik Advokat

18 February 2025 | 23

Mediajustitia.com – Dunia advokat saat ini tengah digegerkan dengan kasus seorang pengacara berinisial FO yang naik meja saat sidang kasus pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pada 6 Februari 2025 lalu. Tindakan itu mendapat kecaman dari berbagai pihak dan dianggap sebagai tindakan yang telah menghina lembaga peradilan. 

 

Imbas dari kasus tersebut, Kongres Advokat Indonesia (KAI) kemudian memberhentikan pengacara tersebut dan menyatakan bahwa FO terbukti telah melakukan tindakan merusak etika dan marwah profesi advokat, serta merusak nama baik KAI. 

 

KAI dalam keputusannya yang tertuang pada Surat Keputusan DPP KAI Nomor 007/SK25 menetapkan tiga hal, yaitu: 1) Memberhentikan FO secara tidak hormat dari keanggotaan KAI; 2) Mencabut SK pengangkatan advokat FO; dan 3) Melarang FO menggunakan segala atribut KAI, baik nama, logo, maupun bendera organisasi. Tak hanya itu, pihak PN Jakarta Utara juga resmi melaporkan para pengacara dari tim kuasa hukum RA, dengan mendasarkan pada tiga pasal, yaitu Pasal 355 KUHP, 207 KUHP, dan 217 KUHP.

 

Rincian pasal tersebut antara lain: Pertama, Pasal 335 KUHP mengatur tentang tindak pidana memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kedua, Pasal 207 KUHP mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia. Ketiga, Pasal 217 KUHP yang mengatur tentang pidana penjara dan denda bagi orang yang menimbulkan kegaduhan di pengadilan. Pelaporan ini didasarkan pada perintah langsung dari Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga peradilan tertinggi di Tanah Air. 

 

Advokat dan Kode Etik Advokat 

Advokat dalam menjalankan tugasnya berpegang teguh pada Kode Etik Advokat Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi advokat. Kode Etik merupakan kompas moral yang menjadi penunjuk arah bagi setiap profesional dalam menjalankan tugasnya. Dalam konteks profesi advokat, kode etik tidak sekadar kumpulan aturan tertulis, melainkan juga fondasi dasar yang membentuk integritas dan profesionalisme para penegak hukum ini. 

 

Lebih dari sekadar aturan prosedural, kode etik advokat merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur profesi hukum yang telah dibangun selama ini. Kode etik menjadi jembatan yang menghubungkan antara keahlian teknis seorang advokat dengan tanggung jawab moralnya terhadap masyarakat dan sistem peradilan. 

 

Pada Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia menjelaskan bahwa “Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”. 

 

Apabila mengacu pada Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia, pasal ini seolah menegaskan kedudukan istimewa seorang advokat Indonesia sebagai insan pilihan yang bertakwa, jujur, dan berakhlak mulia. Keistimewaan ini tidak hadir tanpa sebab, seorang advokat juga dituntut menjadi pribadi yang tidak hanya cakap dan paham terkait dengan ilmu hukum, tetapi juga merupakan cerminan nilai-nilai luhur bangsa yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Kebebasan yang dimiliki advokat bukan tanpa batas. Para advokat dibekali seperangkat hak dan kewajiban yang sebagaimana telah tercantum dengan baik dan jelas pada Kode Etik Profesi Advokat yang menjadi panduan dalam menjalankan profesinya. Seorang Advokat memiliki keleluasaan untuk mengekspresikan argumentasi hukum demi membela kliennya, dilindungi oleh hak imunitas serta memiliki akses untuk menggali informasi yang diperlukan dalam pembelaan. Namun di balik semua privilege yang dimiliki advokat tersebut, terdapat juga tanggung jawab yang harus dipikul. 

 

Awal Runtuhnya Wibawa Peradilan Advokat tidak diperkenankan mengabaikan kepentingan klien, harus menjunjung tinggi profesi dan yang perlu digaris bawahi ialah wajib menghindari segala bentuk diskriminasi. Dan masih banyak sekali hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang Advokat. Keseimbangan antara hak dan kewajiban menciptakan standar profesionalisme yang tinggi. Advokat tidak hanya dituntut untuk mahir dalam aspek teknis hukum, tetapi juga harus memiliki integritas tak tergoyahkan dalam menjaga marwah profesinya. Prinsip kejujuran, ketakwaan, dan akhlak mulia menjadi fondasi yang tak terpisahkan dari identitas seorang Advokat Indonesia. 

 

Advokat dan marwah pengadilan 

Advokat dalam menjalankan tugasnya juga tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Berdasarkan Pasal 14 UU Advokat: “Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”. Secara tidak langsung menunjukkan bahwa seorang advokat dalam menjalankan tugasnya memiliki batasan untuk tetap menghormati ketentuan UU yang berlaku. Hal ini juga mewajibkan Advokat untuk menjaga marwah pengadilan dengan menghindari tindakan Contempt of Court (CoC). 

 

CoC merupakan perbuatan merendahkan kewibawaan atau martabat peradilan, yang diatur dalam angka 4 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang isinya menyebutkan: “Bahwa selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”. 

 

Hal ini selaras dengan pandangan Emile Durkheim yang menyebutkan bahwa hukum berlaku berhubungan erat dengan moralitas yang mengandung empat hal, yaitu: Pertama, hukum merupakan moralitas untuk merumuskan tindakan yang dianggap tidak bermoral oleh masyarakat. Kedua, hukum merupakan moralitas yang merumuskan bagaimana orang berinteraksi sosial maupun moralitas fungsi-fungsi sosial. Ketiga, hukum merupakan moralitas bagi para praktisi hukum (pengacara, polisi, jaksa, hakim) untuk bertindak secara profesional dalam pekerjaannya dengan mengacu pada moralitas praktisi hukum. Keempat, hukum merupakan masyarakat tempat hukum tersebut dibuat dan dilaksanakan. 

 

Kasus ini mengingatkan kita kembali pada prinsip dasar profesi advokat sebagai officium nobile, atau profesi yang mulia. Konsep ini bukan sekadar slogan, tetapi mengandung tanggung jawab besar bagi setiap advokat untuk menjunjung tinggi etika, moralitas, dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Menurut teori etika profesional, seperti yang dikemukakan oleh Richard Wasserstrom dalam “Lawyers as Professionals: Some Moral Issues,” advokat memiliki peran ganda sebagai penegak hukum sekaligus pembela kepentingan klien.

 

Namun, dalam menjalankan perannya, advokat tidak boleh mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan. Teori legal ethics ini menegaskan bahwa kebebasan advokat dalam membela klien bukan berarti mereka memiliki keleluasaan absolut, melainkan tetap harus berpegang teguh pada prinsip kejujuran dan penghormatan terhadap lembaga peradilan. Dalam perspektif teori hukum, khususnya teori hukum responsif yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, advokat sebagai bagian dari sistem hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. 

 

Advokat bukan hanya sekadar “pembela”, tetapi juga harus menjadi agen perubahan yang membawa praktik hukum ke arah yang lebih beradab dan profesional. Kasus FO menjadi pengingat bagi kita semua bahwa profesi advokat bukan sekadar perjanjian, tetapi sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Hanya dengan menjunjung tinggi kehormatan profesi, advokat dapat terus berperan sebagai pilar utama dalam menegakkan keadilan di Indonesia. Saatnya bagi para advokat untuk benar-benar menghayati makna officium nobile dan memastikan bahwa marwah profesi ini tetap terjaga. Dengan demikian, advokat tidak hanya dihormati karena kecakapan hukumnya, tetapi juga karena integritas, profesionalisme, dan etika yang mereka junjung tinggi.

 

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...