Mediajustitia.com – Komisi V DPR RI tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ). Dalam proses penyusunannya, DPR membuka ruang bagi berbagai pihak untuk memberikan masukan, salah satunya Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), yang menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis terkait regulasi transportasi daring, khususnya ojek online (ojol), serta koordinasi implementasi aturan tersebut.
Sekretaris Jenderal MTI, Haris Muhammadun, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi V DPR RI menyatakan bahwa pengaturan mengenai ojek daring perlu diperjelas dalam RUU LLAJ guna menghindari ketidakpastian hukum yang saat ini masih terjadi. Salah satu isu yang disoroti adalah batasan operasional ojek daring sebagai transportasi penumpang yang diusulkan maksimal selama 10 tahun ke depan.
“Kami mengusulkan agar ojek online tetap diakui sebagai angkutan umum, tetapi dengan batas waktu maksimal 10 tahun. Setelah itu, ojol hanya boleh mengangkut makanan, minuman, atau paket kecil,” ujar Haris di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Haris menegaskan bahwa sejak awal, keberadaan ojek daring hanya dimaksudkan sebagai solusi sementara atau bridging, namun karena tidak ditentukan batas waktunya, justru berkembang tanpa regulasi yang jelas. Akibatnya, terjadi dualisme pengawasan, di mana operator aplikasi diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), sementara pengemudi berada di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Selain itu, standar keselamatan ojek daring dinilai masih belum memenuhi syarat minimum seperti angkutan umum lainnya.
MTI juga menyoroti berbagai dampak ojek daring terhadap transportasi publik dan aspek sosial-ekonomi. Haris menekankan bahwa keberpihakan terhadap transportasi umum harus diutamakan dalam RUU LLAJ. “Harapannya dalam 10 tahun ke depan, sistem first mile dan last mile kita semakin baik, sehingga angkutan umum bisa menjadi pilihan utama masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, MTI memberikan tujuh rekomendasi utama dalam pengaturan ojek daring di RUU LLAJ, yaitu: (1) pengakuan ojol sebagai angkutan umum dengan batas waktu 10 tahun, (2) perluasan kewenangan Kemenhub, (3) standardisasi keselamatan kendaraan dan pengemudi, (4) integrasi dengan angkutan umum, (5) penegakan hukum dan perlindungan bagi pengemudi, (6) penerapan insentif dan disinsentif, serta (7) evaluasi berkala dan fleksibilitas regulasi.
MTI juga mengusulkan agar Kemenhub ditunjuk sebagai koordinator dalam implementasi UU LLAJ. Menurut Haris, saat ini aturan tersebut melibatkan banyak kementerian dan lembaga seperti Kemenhub, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Namun, dalam beleid yang ada, tidak disebutkan pihak yang bertanggung jawab sebagai koordinator, sehingga sering terjadi ketidaksinkronan kebijakan antar-kementerian.
“Kami memandang perlu adanya koordinator penyelenggaraan LLAJ yang jelas. Mengingat substansi UU ini sebagian besar mengatur sarana dan prasarana transportasi jalan, maka Kemenhub adalah pihak yang paling tepat untuk menjalankan peran tersebut,” jelasnya.
Proses revisi UU LLAJ sendiri sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas sejak tahun 2022. Namun, hingga saat ini pembahasan masih terus berlanjut guna memastikan regulasi yang dihasilkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan meningkatkan kualitas transportasi di Indonesia.