Mediajustitia.com – Penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas wilayah laut telah menjadi topik kontroversial yang memancing perhatian publik. Salah satu kasus yang mencuat adalah penerbitan HGB untuk area seluas 656 hektare di Sidoarjo, sebagaimana terungkap melalui aplikasi Bhumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Peristiwa ini menambah deretan kasus serupa, termasuk penerbitan HGB di wilayah laut Tangerang, yang bahkan disertai pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer. Temuan-temuan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dasar hukum, prosedur, dan dampak yang ditimbulkan.
Secara mendasar, Hak Guna Bangunan (HGB) diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). HGB memberikan hak kepada pemegangnya untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah milik negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah hak milik orang lain dalam jangka waktu tertentu. Pengertian “tanah” dalam UUPA mencakup permukaan bumi, baik daratan maupun perairan yang tertutup air, tetapi tidak mencakup ruang perairan laut yang merupakan kawasan publik dengan karakteristik berbeda.
Definisi laut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut, yang menyebutkan bahwa laut adalah ruang perairan yang menghubungkan daratan dengan daratan lain serta menjadi satu kesatuan geografis dan ekologis. Oleh karena itu, laut bukan merupakan objek yang dapat dibebani hak atas tanah, termasuk HGB. Hal ini menegaskan bahwa penerbitan HGB untuk wilayah laut tidak hanya tidak sesuai dengan UUPA tetapi juga bertentangan dengan asas-asas pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Proses penerbitan HGB diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Pemberian HGB atas tanah negara memerlukan keputusan dari Menteri ATR/BPN, sementara untuk tanah hak pengelolaan memerlukan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan. Proses tersebut juga harus didaftarkan pada kantor pertanahan dan menghasilkan sertifikat sebagai bukti hak. Namun, prosedur ini menjadi tidak relevan bila diterapkan pada wilayah laut, karena laut tidak dapat dikategorikan sebagai objek tanah yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Persoalan penerbitan HGB di atas laut tidak hanya terbatas pada aspek legalitas tetapi juga menyentuh dimensi ekologis dan sosial. Pembangunan di wilayah laut dapat menimbulkan kerusakan pada ekosistem laut, termasuk terumbu karang, padang lamun, dan habitat biota laut lainnya. Gangguan ini berpotensi memperparah dampak perubahan iklim dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut yang menjadi penopang kehidupan masyarakat pesisir. Selain itu, ketidakharmonisan regulasi antara pemerintah pusat dan daerah membuka peluang konflik tata kelola yang merugikan semua pihak.
Dalam konteks hukum administrasi, penerbitan HGB di atas laut menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas birokrasi. Minimnya transparansi dalam proses pengajuan dan penerbitan sertifikat tanah memperbesar risiko penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan ini, yaitu:
1. Investigasi Komprehensif
Kementerian ATR/BPN bersama aparat penegak hukum perlu melakukan investigasi mendalam untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penerbitan HGB di wilayah laut. Langkah ini penting untuk menegakkan hukum dan memberikan efek jera.
2. Revisi dan Harmonisasi Regulasi
Pemerintah perlu meninjau ulang peraturan terkait hak atas tanah dan pengelolaan wilayah laut untuk memastikan tidak ada tumpang tindih atau celah hukum yang dapat dimanfaatkan secara ilegal. Harmonisasi antara UUPA, PP tentang tata ruang laut, dan peraturan sektoral lainnya perlu segera dilakukan.
3. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Sistem pengawasan yang lebih ketat harus diterapkan, termasuk melalui teknologi digital seperti aplikasi monitoring berbasis geospasial. Selain itu, penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran berulang.
4. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat perlu diberdayakan melalui edukasi mengenai hak dan kewajiban mereka dalam pengelolaan wilayah, serta dilibatkan dalam proses pengawasan terhadap praktik-praktik yang merugikan lingkungan.
5. Pendekatan Berbasis Keberlanjutan
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan untuk melindungi ekosistem laut dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam mengelola sumber daya alam yang bersifat strategis. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan secara berkelanjutan dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam dapat dipulihkan, sekaligus menjamin keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.