MediaJustitia.com: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) resmi akan direvisi secara terbatas setelah sebelumnya mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Wacana perubahan Undang Undang ITE bermula dari usulan Presiden Joko Widodo yang kemudian disambut baik oleh DPR. Keputusan ini dilakukan untuk mengakhiri kontroversi yang ditimbulkan oleh UU ITE.
Pemerintah telah membentuk dua tim kajian. Tim pertama dibentuk untuk membahas rencana revisi UU ITE bersama komponen masyarakat, sementara tim kedua dibentuk untuk menyusun interpretasi terhadap pasal yang dianggap multitafsir. Revisi UU ITE akan mencakup enam masalah, yakni ujaran kebencian, kebohongan, perjudian daring, kesusilaan, fitnah dan pencemaran atau penghinaan.
Sejauh ini, pemerintah telah memutuskan untuk merevisi empat buah pasal, antara lain Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36. UU ITE juga akan mengalami penambahan pasal, yakni Pasal 45C. Revisi terhadap pasal-pasal ini bertujuan untuk menghilangkan pasal karet, upaya kriminalisasi dan multitafsir tanpa mencabut UU ITE itu sendiri. Perubahan terhadap lima pasal tersebut akan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
Adapun Pasal 27 UU ITE terdiri dari empat ayat yang mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meliputi :
(1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Penerapan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE akan dibatasi, sehingga beberapa perbuatan seperti halnya berbicara mesum atau mengirim gambar mesum di media elektronik secara pribadi akan dikenakan pasal dari undang-undang lain (UU Pornografi).
(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”
(3) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
(4) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”
Sementara Pasal 28 terdiri dari dua ayat :
(1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Kemudian, Pasal 29 berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
Terakhir, Pasal 36 berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.”
Pasal-pasal tersebut akan mengalami penambahan, pengurangan ataupun perubahan kalimat agar tidak menjadi multitafsir dan disalahgunakan. Beberapa ahli berpendapat bahwa di luar empat pasal tersebut, masih terdapat pasal multitafsir dan kontroversial, seperti halnya Pasal 6, Pasal 26 Ayat (3) dan lain sebagainya. Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid menyatakan bahwa revisi terbatas UU ITE masih dimungkinkan untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Pada pertengahan tahun akan diselenggarakan evaluasi, sehingga revisi UU ITE bisa dimasukkan ke dalam daftar prioritas penyelesaian.