Korupsi Impor Gula: Mantan Mendag Tom Lembong Terjerat Kasus Rp 400 Miliar

1 November 2024 | 119
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (Antara)

Mediajustitia.com – Penetapan status tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), atas dugaan korupsi dalam kasus impor gula periode 2015-2016 menarik perhatian publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa status tersangka dalam kasus ini tidak selalu membutuhkan bukti penerimaan aliran dana.

Dalam penyidikan, Tom Lembong dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait kerugian negara. Kejaksaan Agung menilai kebijakan yang ditetapkan oleh Lembong mengakibatkan kerugian bagi negara, meskipun aliran dana korupsi yang mungkin diterima masih dalam penyelidikan.

Harli, seorang pejabat di Kejaksaan Agung, menyatakan bahwa berdasarkan bukti yang ada, penyidik yakin ada tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh Tom Lembong. Ia juga menyebutkan bahwa kebijakan yang disahkan oleh Lembong memberi izin kepada delapan perusahaan swasta untuk mengimpor Gula Kristal Mentah (GKM), yang seharusnya tidak diperbolehkan.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menambahkan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka korupsi tidak selalu bergantung pada adanya penerimaan uang. Qohar menjelaskan bahwa menurut Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang telah diubah oleh UU Nomor 20 Tahun 2001, tindakan korupsi tidak hanya berhubungan dengan memperkaya diri. 

Seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika terbukti menguntungkan pihak lain atau perusahaan melalui tindakan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan.

Dalam kasus ini, baru dua tersangka yang ditetapkan, yaitu Tom Lembong dan Charles Sitorus, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI). Istilah penting dalam kasus ini meliputi Gula Kristal Mentah (GKM) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang digunakan dalam proses produksi, serta Gula Kristal Putih (GKP) yang siap konsumsi.

Sesuai dengan aturan yang ditandatangani oleh Lembong, hanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diizinkan untuk mengimpor GKP, dan harus berdasarkan kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga GKP. 

Namun, pada tahun 2016, ketika Indonesia mengalami kekurangan stok GKP, Tom Lembong justru mengizinkan perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP. Jaksa menyebutkan bahwa Lembong mengarahkan PT PPI untuk bekerja sama dengan perusahaan swasta dalam mengolah GKM.

Sebanyak sembilan perusahaan swasta terlibat dalam pengolahan ini, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan PT KTM. Dengan persetujuan Lembong, impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan tersebut. 

Idealnya, yang seharusnya diimpor adalah GKP secara langsung untuk memenuhi stok dan menstabilkan harga.

Setelah pengolahan GKM menjadi GKP, PT PPI tampak seolah-olah membeli produk tersebut. Namun, jaksa mengungkapkan bahwa GKP tersebut dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta kepada masyarakat melalui distributor dengan harga yang lebih tinggi sekitar Rp 3.000 dari harga eceran tertinggi (HET).

Dari proses pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI memperoleh keuntungan sebesar Rp 105 per kilogram. Kerugian negara akibat tindakan ini diperkirakan mencapai sekitar Rp 400 miliar, yang seharusnya menjadi keuntungan untuk negara.

Berita ini telah terbit di detik.com

banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...