MediaJustitia.com: Partai Buruh memperingati hari perempuan sedunia atau International Women’s Day dengan menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR. Partai Buruh menyampaikan beberapa tuntutan, di antaranya partisipasi perempuan dalam perpolitikan.
Pantauan detikcom, Partai Buruh mulai mendatangi gedung DPR pukul 11.00 WIB, Rabu (8/3/2023). Mereka tampak menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ sebelum menyampaikan tuntutannya.
Jumisih, selaku Deputi Bidang Perempuan Partai Buruh, menyampaikan ada 11 organisasi Buruh yang unjuk rasa. Dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) hingga Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
“Kami ini dari Partai Buruh jadi yang hadir di sini dari 11 inisiator. Ada FSPMI, KSPI, KPBI, Jala PRT, SPI, JRMK, dan lainnya. Jadi Total peserta kalau dihitung sekitar 1.000 massa,” ucapnya kepada wartawan.
Baca juga: Tata Cara Demonstrasi
Jumisih menuturkan Partai Buruh menuntut partisipasi perempuan dalam perpolitikan nasional.
“Kami hari ini Partai Buruh menyelenggarakan aksi internasional Women’s Day bukan sekadar seremonial. Kami menuntut pemerintah memberi ruang seluas mungkin pada perempuan untuk berpartisipasi dalam kebijakan politik. Kami dari Partai Buruh akan terlibat dalam partisipasi kancah perpolitikan di 2024. Poinnya sebetulnya di situ,” kata dia.
Selain itu, dia menuntut agar RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera disahkan.
“Kita sebutkan saja misalnya RUU PPRT. Itu sudah mangkrak hampir 20 tahun dan belum disahkan. Jadi tuntutan kita adalah segera sahkan RUU PPRT, jangan tunda karena menambah jumlah kekerasan 10-11 PRT dan itu mengerikan,” ungkapnya.
Partai Buruh, lanjut Jumisih, juga menuntut adanya reforma agraria hingga mencabut UU Omnibus Law.
“Kita juga menuntut adanya reforma agraria, menolak RUU Kesehatan dan kita juga menuntut pemerintah untuk mencabut UU Omnibus Law,” katanya.
“Kenapa omnibus law berbahaya? Karena secara posisi sebetulnya omnibus law Cipta kerja menguatkan informalisasi tenaga kerja jadi masyarakat Indonensia jadi menjadi tenaga kerja informal. Kalau diinformalisasi tidak ada kepastian hukuman kerja,” jelasnya.
Artikel ini telah terbit di Detik