Mediajustitia.com: Pemulangan tiga pelaku pembunuhan dan pemerkosaan AA (13), siswi SMP di Palembang menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat hingga pakar hukum. Masyarakat menilai belum ada hukuman yang “setimpal” dengan tindakan keji yang dilakukan oleh para pelaku. Ditambah lagi ketiga pelaku dari total empat pelaku dipulangkan. Hal ini menurut beberapa pakar dinilai sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak kejahatan oleh anak-anak.
Ketiga anak, yaitu MZ (13), NS (12), dan AS (12), diduga terlibat dalam membantu IS (16), yang merupakan tersangka utama dalam kasus ini. Menurut Abdul Fickar Hajar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, terdapat tiga pengecualian khusus untuk anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Pertama, sidang mereka dilaksanakan secara tertutup dan hanya melibatkan pihak-pihak terkait seperti saksi dan orangtua, tanpa dihadiri oleh umum.
Selanjutnya, apabila hukuman maksimal bagi orang dewasa adalah 20 tahun, maka untuk anak-anak, hukuman seumur hidup yang dijatuhkan akan dikurangi menjadi separuhnya, yaitu 10 tahun. Ini merupakan salah satu keistimewaan bagi anak-anak. Anak yang berhadapan dengan hukum, menurut Hajar, apabila berusia antara 9 hingga 12 tahun, pertanggungjawaban hukumnya dibebankan kepada orangtua atau walinya. Oleh karena itu, keputusan kepolisian untuk memulangkan ketiga tersangka yang termasuk dalam kategori usia 12-13 tahun dianggap tepat dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Keterangan tersebut tertera dalam Pasal 21 dan Pasal 79 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang masing masing menyebutkan bahwa dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali kepada orang tua/Wali. Sedangkan Pasal 79 mengatakan bahwa Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
Sejatinya, filosofi dalam pengaturan hukum pidana untuk anak yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan di Indonesia didasarkan pada prinsip bahwa anak adalah individu yang masih dalam tahap perkembangan baik secara fisik maupun mental, sehingga hukum pidana anak lebih berorientasi pada rehabilitasi dan pendidikan daripada pembalasan. Hukum pidana anak bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki diri, dengan mempertimbangkan kapasitas mental dan emosionalnya yang belum sepenuhnya matang. Oleh karena itu, hukuman bagi anak pelaku tindak pidana seperti pemerkosaan dan pembunuhan tidak seberat hukuman yang diberikan kepada pelaku dewasa, mengingat adanya keyakinan bahwa anak masih memiliki potensi untuk berubah dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat.
Dalam perspektif korban, pemenuhan rasa keadilan melalui hukum pidana terhadap anak pelaku tindak pidana seringkali dirasakan kurang memadai, terutama ketika dampak dari kejahatan yang dilakukan sangat besar, seperti dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Untuk mencapai keseimbangan, hukum menyediakan mekanisme restorative justice, di mana perhatian diberikan pada pemulihan kondisi korban, rehabilitasi pelaku, dan rekonsiliasi antara keduanya. Restorative justice bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat kejahatan dan memulihkan hak-hak korban, meskipun sering kali tantangan muncul dalam mencapai keadilan subjektif dari sudut pandang korban, terutama dalam kasus yang melibatkan hilangnya nyawa.
Pada kasus pemerkosaan yang tidak menyebabkan kehilangan nyawa, hukum pidana anak tetap bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban, meskipun mungkin tidak memuaskan secara penuh rasa keadilan korban. Namun, ketika nyawa korban dirampas, baik secara sengaja maupun tidak, kompleksitas muncul karena hukuman yang lebih ringan terhadap anak pelaku dapat terasa tidak setimpal dengan dampak yang dialami oleh korban atau keluarganya. Untuk itu, ada kebutuhan untuk menyeimbangkan antara kepentingan rehabilitasi anak dan keadilan bagi korban, yang mungkin tidak selalu dapat sepenuhnya tercapai dalam sistem hukum yang berlaku saat ini.
Ketika kasus melibatkan pembunuhan, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak, kompleksitas dalam mencapai keadilan semakin meningkat. Dalam hal ini, hukuman yang lebih ringan untuk pelaku anak mungkin dirasakan tidak setimpal dengan hilangnya nyawa korban, yang memiliki dampak signifikan pada korban atau keluarga korban. Sistem hukum pidana anak memang memberikan ruang bagi rehabilitasi, namun hal ini sering kali dianggap tidak memadai dalam konteks kejahatan berat yang melibatkan kehilangan nyawa. Untuk menyeimbangkan antara rehabilitasi pelaku anak dan keadilan bagi korban, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan mungkin melibatkan proses hukum yang lebih mendalam, yang mengintegrasikan prinsip-prinsip restorative justice dengan mekanisme hukum yang ada.
Dengan demikian, sistem hukum pidana anak di Indonesia berupaya untuk mengakomodasi kebutuhan rehabilitasi anak sambil berusaha untuk memenuhi rasa keadilan korban. Namun, tantangan utama tetap pada bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan untuk rehabilitasi pelaku anak dan hak-hak serta rasa keadilan bagi korban, terutama dalam kasus-kasus dengan dampak yang sangat besar seperti pemerkosaan dan pembunuhan.