Mediajustitia.com – Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi kini menjadi bahan perdebatan di Indonesia. Sementara sebagian pihak melihat potensi positif dari kebijakan ini, banyak yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap tujuan utama perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan penelitian.
Sektor pertambangan, yang memiliki karakteristik industri yang kompleks dan berorientasi pada keuntungan, berisiko mengalihkan fokus perguruan tinggi dari fungsi utamanya. Anggawira, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo), mengingatkan bahwa pengelolaan tambang bisa mengubah perguruan tinggi menjadi lebih berorientasi pada keuntungan daripada pendidikan. Menurutnya, “Mengelola tambang adalah aktivitas industri yang kompleks dan berorientasi pada profit. Hal ini berpotensi menggeser fokus universitas dari fungsi utamanya sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.” Hal ini bisa menjadi ancaman serius, terutama jika perguruan tinggi lebih sibuk mengelola tambang daripada menjalankan tugas pokoknya dalam mendidik generasi muda.
Kekhawatiran yang sama juga disuarakan oleh Mulyanto, mantan anggota Komisi VII DPR RI dan Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI). Ia menilai bahwa sektor pertambangan saat ini tengah dilanda berbagai masalah, seperti tambang ilegal dan korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. “Pemberian prioritas izin tambang kepada perguruan tinggi bisa menambah masalah baru yang lebih berat, karena sektor ini penuh tantangan, baik dari sisi pengelolaan maupun dampak sosial dan lingkungan,” katanya. Ditambah lagi, sektor pertambangan berisiko memperburuk kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial, yang seringkali menekan masyarakat kecil.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pandangan tersebut. Beberapa pakar melihat adanya potensi bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam sektor ini, khususnya dalam hal penelitian dan pengembangan teknologi pertambangan yang lebih ramah lingkungan. Prof. Sudharto Hadi, Pakar Manajemen Lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip), berpendapat bahwa meskipun perguruan tinggi memiliki badan usaha, tantangan besar tetap ada dalam hal tenaga ahli dan kapasitas untuk mengelola tambang secara profesional. “Kegiatan pertambangan dimulai dari eksplorasi, kemudian eksploitasi, dan eksplorasi belum tentu ada hasil,” katanya. Menurutnya, perguruan tinggi seharusnya lebih fokus pada pemikiran kritis tentang masalah-masalah sektor pertambangan, bukan terlibat langsung dalam operasional tambang.
Namun, ada sisi positif yang tidak dapat diabaikan. Pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi dapat mendorong pengembangan riset dan teknologi baru yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Dengan keahlian yang dimiliki oleh perguruan tinggi dalam bidang sains dan teknologi, mereka bisa berperan dalam menciptakan praktik pertambangan yang lebih berkelanjutan dan mengurangi dampak buruk bagi lingkungan. Ini akan memberikan nilai tambah yang besar bagi sektor pertambangan, yang seringkali dikritik karena ketidakseimbangan dalam pengelolaan sumber daya alam dan dampaknya terhadap masyarakat sekitar.
Di sisi lain, pengelolaan tambang memerlukan biaya besar yang tidak semua perguruan tinggi sanggup menanggungnya. Bhima Yudhistra, Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), mengungkapkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan tambang bisa sangat besar, bahkan untuk skala kecil. “Biaya upfront minimal Rp 500 miliar yang mencakup biaya uji kelayakan, eksplorasi, mine development, hingga reklamasi lahan, bisa membuat kampus kewalahan secara finansial,” jelasnya. Tanpa dukungan dana yang kuat, perguruan tinggi berisiko hanya menjadi “broker tambang”, dengan pengelolaan diserahkan pada perusahaan lain dan bagi hasil yang minim ke kampus.
Selain itu, ada juga kekhawatiran akan munculnya konflik kepentingan, terutama jika perguruan tinggi terlibat langsung dalam pengelolaan tambang. Universitas yang terlibat dalam tambang bisa menghadapi bias dalam kebijakan atau penelitian mereka yang mungkin lebih menguntungkan sektor tambang yang mereka kelola, mengurangi objektivitas akademisnya.
Secara keseluruhan, meskipun ada potensi positif yang bisa ditawarkan oleh keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor pertambangan, kebijakan ini membawa tantangan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu dampak positif yang dapat muncul adalah terciptanya teknologi pertambangan yang lebih ramah lingkungan, yang diharapkan dapat mengurangi dampak negatif sektor ini. Namun, untuk mencapai hal tersebut, perguruan tinggi harus memastikan bahwa pengelolaan tambang tidak mengganggu peran akademis mereka. Dibutuhkan kebijakan yang hati-hati dan implementasi yang tepat agar perguruan tinggi tetap bisa menjalankan peran utamanya tanpa terjebak dalam pengelolaan tambang yang penuh risiko. Jika tidak, kebijakan ini bisa berbalik merugikan, baik bagi perguruan tinggi maupun sektor pertambangan itu sendiri.