Mediajustitia.com – Wahana wisata Hibisc Fantasy Puncak, yang dikelola oleh anak perusahaan BUMD Jawa Barat, akhirnya dibongkar pada Kamis (6/3/2025) setelah mendapat perintah langsung dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Keputusan ini diambil setelah ditemukan pelanggaran izin pengelolaan lahan, di mana area yang seharusnya hanya seluas 4.800 meter persegi berkembang menjadi 15.000 meter persegi tanpa izin yang sah.
Pembongkaran ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga mendapat reaksi keras dari warga sekitar yang merasa keberadaan tempat wisata tersebut telah berdampak buruk pada lingkungan. Ratusan warga dilaporkan ikut serta dalam aksi pembongkaran, meruntuhkan gerbang utama dan menghancurkan beberapa bagian bangunan. Sementara itu, petugas Satpol PP yang berada di lokasi bertindak sebagai penengah dalam ketegangan yang sempat terjadi antara warga dan pengelola.
Sebelumnya, kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, dilanda banjir bandang yang merusak fasilitas umum, menyebabkan tanah longsor, serta menelan korban jiwa. Banyak pihak menduga bahwa alih fungsi lahan yang tidak sesuai perizinan berkontribusi terhadap bencana tersebut, sehingga pemerintah daerah mengambil tindakan tegas terhadap Hibisc Fantasy.
Meski mendapat kecaman dari pemerintah dan warga, Direktur PT Jaswita Lestari Jaya, Angga Kusnan, menilai terdapat kesalahpahaman mengenai luas lahan yang digunakan. Menurutnya, dari total 21 hektare lahan kerja sama operasi (KSO) dengan PTPN, hanya sekitar 4.138,95 meter persegi yang digunakan untuk bangunan wahana permainan, sementara sisanya terdiri dari ruang terbuka hijau, lahan parkir, dan fasilitas umum lainnya.
Di tengah sengketa yang berujung pada pembongkaran ini, muncul pertanyaan mendasar tentang kepatuhan terhadap regulasi tata ruang dan perizinan lahan. Sengketa seperti ini bukan hal baru di Indonesia, di mana berbagai sektor bisnis, termasuk yang dikelola oleh BUMD, kerap menghadapi masalah hukum akibat kurangnya pemahaman terhadap regulasi atau kesalahan administrasi dalam pengelolaan lahan.
Kasus Hibisc Fantasy menjadi pelajaran penting bagi berbagai pihak, baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat, tentang pentingnya kepatuhan terhadap hukum pertanahan. Pelanggaran yang tampak kecil dalam perizinan lahan dapat berujung pada konsekuensi besar, termasuk pembongkaran, konflik sosial, hingga dampak lingkungan yang luas.
Dalam konteks ini, pemahaman mendalam mengenai hukum pertanahan dan penyelesaian sengketa menjadi krusial. Banyak sengketa lahan dapat dihindari jika sejak awal para pengelola memiliki pemahaman yang baik tentang regulasi yang berlaku. Dengan meningkatnya kompleksitas peraturan pertanahan di Indonesia, memiliki sertifikasi kompetensi di bidang hukum dapat menjadi langkah preventif bagi individu dan perusahaan dalam mengelola aset dan bisnisnya secara legal dan berkelanjutan.
Ke depan, kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua pihak yang terlibat dalam industri properti dan pengelolaan lahan. Kasus Hibisc Fantasy memberikan gambaran nyata tentang bagaimana pelanggaran hukum dapat berujung pada kerugian besar, sekaligus mengingatkan pentingnya literasi hukum bagi pelaku usaha di berbagai sektor.