Mediajustitia.com – Perkumpulan Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan Indonesia (PERKHAPPI) menghadiri undangan Forum Gorup Discussion (FGD) yang bertemakan “Analisis Mahadata Kebijakan Hilirisasi: Strategi dan Diplomasi Indonesia Menghadapi Dinamika Global” dari Universitas Bina Nusantara (BINUS) pada Jum’at (1/11). FGD ini dihadiri oleh beberapa stakeholder yang berasal dari berbagai kementerian, seperti Kementerian Energi dan Sumber Data Mineral RI dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Hukum dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan beberapa perwakilan Asosiasi seperti Asosiasi Penambang Nikel (APNI), Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO), dan Perkumpuan Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan Indonesia (PERKHAPPI), diselenggarakan secara hybrid melalui zoom dan secara langsung di Ahsley Hotel Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Prof. Dr. Tirta Nugraha Mursitama, Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan bahwa FGD ini ditujukan untuk mengetahui data-data spasial yang ada, apa saja peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah di bidang hilirisasi, serta seberapa besar, di daerah mana, dan peraturan apa saja yang sudah diterapkan, sebagai bahan untuk melakukan riset oleh BINUS University di bidang kebijakan hilirisasi. Dari FGD ini, nantinya riset akan dilakukan dengan menyajikan dua aspek hukum, yaitu hukum pertambangan dan hukum perdagangan internasional, dengan menggunakan pendekatan artificial intelligence dan geospasial.
Dia juga berharap bisa mendapatkan pandangan terkait negosiasi dan kerja sama apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah. “Kita akan pelajari itu, untuk nantinya kita temukan kata-kata kuncinya dan bagaimana national interest kita teraplikasikan dalam setiap perjuangan diplomasi kita, khususnya dalam diplomasi investasi. Kata kunci dan pattern yang kita temukan itu nantinya akan digunakan untuk menangkap percakapan di media social baik di dalam negeri maupun luar negeri, yang kita kaitkan dengan semua pelaku dan aktor dunia internasional di tingkat nasional maupun domestic,” ujarnya.
Tirta menambahkan, “Harapannya ke depan kita punya penyusunan strategi yang lebih komprehensif berdasarkan hukum dan berdasarkan juga pendekatan yang dibantu oleh artificial intelligence, karena ini adalah sumbernya dari BINUS University, sehingga bisa dapat membantu pemerintah dari sisi yang lain, dari sisi penggunaan big data itu dalam pengambilan kebijakan. Nah itu mimpi kami bapak ibu, kami ucapkan terima kasih atas kehadiran bapak ibu dari kementerian dari kalangan expert, dari akademisi baik dari dalam ataupun luar BINUS. Harapannya, riset ini nantinya outputnya dapat kami sampaikan kepada pemangku kebijakan ya bapak ibu. Jadi ini sebenarnya riset independen ya. Jadi kita harapkan nanti dari bapak ibu ada masukan atau pandangan, apa yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait kebijakan hilirisasi ini,” ucapnya.
Setelah selesai mendengarkan sambutan, peserta FGD kemudian menyampaikan pandangan dan gagasannya terkait kebijakan hilirisasi di Indonesia. PERKHAPPI menyampaikan beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam menerapkan kebijakan hilirisasi. Beberapa diantaranya, yaitu: Pertama, Pemerintah perlu melakukan penguatan terkait kebijakan rantai pasok transisi energi dari hulu ke hilir dengan memanfaatkan teknologi rendah karbon. Kedua, Pemerintah perlu menerapkan kebijakan hilirisasi dengan melakukan pengelolaan mineral kritis yang bertanggung jawab dan berkeadilan. Ketiga, Pemerintah perlu melakukan penguatan kerangka regulasi yang solid, terutama di bidang perizinan usaha, dan Keempat, Pemerintah perlu melakukan sosialisasi terkait kebijakan hilirisasi kepada masyarakat internasional, guna memperoleh dukungan dan membuka peluang kerja sama di bidang hilirisasi.
Menurut Andriansyah Tiawarman K selaku Sekertaris Jenderal PERKHAPPI, hal ini penting guna memastikan kebijakan hilirisasi di Indonesia dapat berjalan dengan baik namun tetap tidak mengabaikan prinsip ESG (Environment, Social, and Governance), yakni pemerintah dalam menerapkan kebijakan hilirisasi tetap selaras dengan upaya menjaga lingkungan yang berkelanjutan. Sehingga dapat kebijakan hilirisasi tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi namun juga dapat turut mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti lingkunga, sosial, kehidupan berkelanjutan, serta menjaga hubungan antar negara dalam lingkup bisnis hilirisasi. Di sisi lain, Faisal Santiago selaku Ketua Umum PERKHAPPI juga berpandangan bahwa perlu adanya peningkatan dalam aspek pengawasan dan penegakan hukum terhadap temuan-temuan penyelundupan bijih nikel dari Indonesia ke luar negeri. Hal ini penting guna mengatasi permasalahan aktivitas penambangan illegal yang tentu akan mengancam keberlangsungan program hilirisasi.
Selaras dengan itu, Kementerian Perdagangan menyampaikan bahwa kebijakan hilirisasi merupakan hal yang penting untuk dilakukan guna memaksimalkan potensi yang dimiliki Indonesia dan tidak dimiliki oleh negara lain, dalam hal ini sektor mineral. Namun, dalam pelaksanaannya perlu strategi yang efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan alam akibat dari adanya kebijakan hirilisasi. Adapun, Hasyim selaku Direktur Hilirisasi Mineral dan Baru Bara, Kementerian Investasi dan Hilirisasi menyampaikan bahwa terdapat 12 komoditas batubara yang dimiliki oleh Indonesia dan dapat dilakukan hilirisasi.
“Kita sudah berhasil melakukan hilirisasi untuk komoditas nikel, terutama di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang terbesar seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Saat ini yang kita inginkan adalah kita ingin menjadi pemain di industri lanjutan nikel. Karena, kalau kita lihat ini rantai pasok kita saat ini kalau di produk, kita menjadi produsen stainless steel nomor 1 dunia. Tetapi kita belum bisa mengolah industry lanjutan stainless steel menjadi pemain utama, masih Tiongkok. Kita harapkan ke depan, kita mampu mengolah stainless steel menjadi nilai tambah yang lebih tinggi,” ucapnya. Ia mengungkapkan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi telah menyusun roadmap hilirisasi, namun yang masih menjadi tantangan adalah bagaimana upaya untuk melakukan implementasi dari roadmap yang telah disusun tersebut.
Selanjutnya, Kementerian ESDM, menyampaikan bahwa hilirisasi ini sudah menjadi program utama pemerintah. Berkaitan dengan sustainability kebijakan hilirisasi, kementerian ESDM berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti kementerian investasi dan hilirisasi, kementerian perindustrian, kementerian koordinasi perekonomian, dan kementerian perdagangan, senantiasa melakukan koordinasi dan sinkronisasi data industri pertambangan, agar selalu seragam dan selaras. Di sisi lain, BPHN menyampaikan bahwa di BPHN pada tahun 2016 pernah dilakukan kajian dan analisa evaluasi terkait kedaulatan energi, salah satunya Minerba. Kemudian, pada tahun 2020, BPHN juga pernah melakukan kajian terkait pokja pertambangan, yang data analisisnya secara lengkap dapat diakses di website BPHN.
Kemudian, ASPEBINDO menyampaikan bahwa dari pihak pelaku usaha mengapresiasi terkait kebijakan hilirisasi ini. Hal ini dikarenakan, kebijakan ini telah membuka ruang bagi para pelaku untuk berpartisipasi dalam program hilirsisasi ini. Namun, meski demikian, menurutnya penting juga bagi pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan kepada para pelaku usaha, terutama berkaitan dengan isu-isu hilirisasi di kancah internasional yang masih menemukan beberapa kendala. Sehingga harapannya, perlindungan dan pengawasan dapat menjaga kegiatan hilirisasi ini tetap dapat berjalan dengan baik. Selain itu, ASPEBINDO juga menyampaikan terkait dengan sengketa bagi pelaku usaha pertambangan, ini awal mulanya sering kali berasal dari bagian AHU, terutama berkaitan dengan masalah kepemilikan. Meskipun, pemerintah telah menerbitkan kebijakan terkait pelarangan penerbitan IUP baru, namun saat ini trend yang berkembang bukan menerbitkan IUP baru, melainkan menghidupkan IUP yang mati. IUP yang dulu dicabut oleh pemerintah, seringkali di PTUN-kan dan direkonsiliasi, yang sering kali IUP itu bisa aktif kembali. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi para pelaku usaha, terutama di bidang kepastian hukum, yang penting untuk diperhatikan dan ditegakan kembali oleh pemerintah.
Terakhir, APNI menyampaikan bahwa ada beberapa persoalan yang penting untuk dilakukan perbaikan, yaitu: Pertama, kurangnya keselarasan kebijakan hilirisasi antar global. Kedua, adanya keterbatasan infratsruktur dan kapasitas industry hilirisasi. Ketiga, maraknya isu legal dan hilirisasi yang belum optimal, dan keempat, adanya kendala untuk menjad lingkungan dan keberlanjutan. Adapun, beberapa solusi yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan harmonisasi kebijakan hilirisasi dengan strategi diplomasi, melakukan peningkatan infrastruktur dan teknologi pengolahan, adanya penguatan regulasi dan penguatan implementasi, serta melakukan upaya peningkatan berkelanjutan dalam praktik pertambangan.