Oleh : Harun Al Rasyid Nasution, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta & Anggota JaTeam Batch 2
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan komitmen Bangsa Indonesia untuk menjadikan Hukum sebagai pilar pilar terciptanya Masyarakat yang madani. Menjadi sebuah keniscayaan bagi seluruh negara bahwa penegakan hukum tentu harus dilaksanakan seadil adilnya dan jauh dari unsur tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum Pidana dan tentu berbagai hukum yang lainnya.
Seperti istilah Hukum Rimba yang berbunyi The Strong will do what they want, and the weak will accept what they must” merupakan istilah yang cocok disandingkan dengan penegakan Hukum di Indonesia.Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan kepastian hukum, kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan.
Berbagai macam Kritik begitu sering disampaikan teruntuk penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan berbicara bahwa hukum di Indonesia merupakan barang dagangan, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, dan tentunya uang akan dapat mengatur proses penegakan hukum. Dari berbagai peristiwa yang sering terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia terbentuklah paradigma oleh masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharu masyarakat, telah berubah menjadi Terminator karena didorong oleh perangkat hukum yang berkecamuk.
Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, jual beli putusan, peradilan yang diskriminatif, rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum seberat beratnya.
Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan dalam kasus penyuapan
Dalam operasi itu, KPK telah menyita uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan usai ?
Kondisi yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mengkebiri keadilan. Merusak keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat.