Isu Radikalisme? Mau sampai kapan?

26 November 2019 | 110
https://img.beritasatu.com/cache/beritasatu/600x350-2/641455109042.jpg

Oleh: Tasya Salsabila, Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta & Anggota JaTeam Batch 2

Isu radikalisme dan terorisme akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang tak ada hentinya. Karena banyak orang memahami radikalisme ini sebagai bentuk pemahaman yang ekstrim mengenai suatu agama tertentu sehingga menimbulkan stigma dimasyarakat luas. Dalam tulisan ini, saya ingin membahas apa pengertian radikalisme serta bagaimana aturan mengenai radikalisme itu sendiri.

Beberapa waktu lalu, dilansir oleh Tirto.id, Kementerian Agama akan mengganti buku Pendidikan agama islam di seluruh Indonesia guna mencegah penyebaran radikalisme dan intoleransi di tengah masyarakat dan penyebaran paham isu radikal serta intoleran sudah masuk ke tahap yang sangat mengkhawatirkan menurut Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kamaruddin Amin. Bentuk pencegahan yang akan dilakukan oleh Kemenag adalah sebagai salah satu cara untuk meminimalisir penyebaran isu radikal dan intoleransi dalam lingkup Pendidikan. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah “Apa sebenarnya pencetus serta penyebab timbulnya isu radikalisme dan intoleran?”

Radikalisme merupakan suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan secara menyeluruh dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya nilai-nilai yang sedang berlaku pada saat itu secara positif, Radikalisme diartikan sebagai suatu paham liberalisme yang sangat maju, namun dari sisi negatif Radikalisme diinterpretasikan dengan ekstrim/fundamentalisme yang mengarah pada kekerasan fisik yang menyebabkan ketakutan di tengah masyarakat. Radikalisme muncul karena individu/kelompok radikal tidak dapat menerima perbedaan, bahkan menganggap kemajemukan yang terjadi di masyarakat sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompok radikal. Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensi kelompok radikal, harus mengeliminasi kelompok lain yang tidak sepaham. Radikalisme merupakan embrio lahirnya Terorisme karena menginginkan adanya perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan mengangkat hal-hal negatif yang ada di masyarakat seperti adanya ketidakadilan, adanya kemiskinan, kesenjangan, globalisasi, dan diskriminasi.

Terorisme telah terjadi sejak zaman revolusi Perancis, ketika pemerintahan Robespierre terlibat di dalam eksekusi massal, terhadap orang-orang sipil yang merupakan lawan-lawan politiknya. Di abad ke-19, arti istilah teroris juga termasuk bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan oleh individual atau kelompok di luar negara yang bersifat mengancam, mengganggu, atau menghambat stabilitas kekuasaan lawannya. Contohnya adalah The Secret Society (Masyarakat Rahasia) yang berjuang untuk unifikasi negara Italia. Kelompok Carabinary yang berarti karaben (sejenis senjata api otomatis) ini berhasil mencapai cita-citanya pada tahun 1871. Mereka adalah kelompok bersenjata karaben yang tak mengenal belas kasihan dengan membunuh siapa saja tak terkecuali. Terorisme menjelang abad ke-20 dipenuhi oleh gerakan-gerakan politik revolusioner yang anarkis yang dalam bentuk dan taktiknya mirip dengan saat ini.[1]

Yang perlu kita ketahui dalam memahami radikalisme adalah apa penyebab serta pemicu yang menimbulkan adanya radikalisme? Banyak argumen-argumen mengenai penyebab timbulnya radikalisme, salah satunya adalah karena faktor ekonomi. Namun, argumen ini terbantahkan oleh banyak kasus faktual, antara lain kasus Usamah bin Laden (yang kaya raya), dan terakhir kasus Dita sekeluarga (pelaku bom Surabaya, 13 Mei 2018) yang relatif mapan secara ekonomi. Lagi pula, banyak sekali orang melarat secara ekonomi di Indonesia, yang tidak terlibat dalam kegiatan radikalisme dan terorisme. Dari beberapa kasus radikalisme dan teroris, dapat saya tarik bahwa penyebab timbulnya radikalisme karena adanya salah pemahaman mengenai apa yang ditafirkan pada suatu teks atau pada suatu ajaran tertentu. Maka disebut isme (paham).

Pemerintah sedang melakukan proses Revisi UU Teroris Nomo 15 Tahun 2003 dan memperluas definisi teroris meliputi motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan. Dengan demikian terorisme bukan hanya bermotifkan agama namun segala tindakan yang menimbulkan ketakutan dan pengrusakan serta pengacaman dengan motif politik, ideologi dan gangguan keamanan dapat ditindaki hanya saja yang masih menjadi persoalan ialah belum ada tindakan preventif oleh pemerintah, sejauh ini masih berupa tindakan represif dengan menyiapakan payung hukum dan melibatkan TNI. Sehingga jika aksi tersebut masih seputar wacana dengan pencucian otak belum bisa secara tegas untuk ditangani karena batasan hukum dan tindakan main hakim sendiri.

Gerakan radikalisme hingga teroris dapat dilakukan dengan mekanisme pencucian otak dan penolakan terhadap Pancasila. Hal ini sebenarnya dapat diantisipasi jika ruang-ruang diskusi keagamaan dapat lebih terbuka dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten. Eksklusifisme yang mereka bangun akan sangat berbahaya jika mereka berdialog dengan komunitas mereka sendiri. Keterbatasan BIN dan BNPT dalam menaggulangi terorisme juga tidak bisa gegabah untuk bertindak namun hal tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang mecurigakan dengan menyelidiki kajian mereka yang secara kontinuitas dan tertutup.

BNPT telah memiliki program deradikalisasi terhadap pelaku teroris dengan memberikan kegiatan-kegiatan yang dapat memulihkan ideologi para eks teroris karena hal yang paling mendasar dari teroris ialah ideologi yang mereka anut. Program deradikalisasi bagi eks teroris tentunya memerlukan penyempurnaan tidak hanya sekedar rehabilitas ideologi di lembaga permasyarakatan melainkan bagaimana BNPT sebagai perwakilan pemerintah dapat menjadi penghubung bagi eks teroris agar mereka dapat diterima oleh masyarakat dan membantu mengarahkan untuk memeuhi kesejahteraan mereka agar tidak terjerat dalam terorisme kembali.[2]

[1] Jogloabang, “PermenPPPA No 7 Tahun 2019, Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme”, https://www.jogloabang.com/sosial/permenpppa-no-7-tahun-2019-pedoman-perlindungan-anak-dari-radikalisme-dan-tindak-pidana (diakses tanggal 15 November 2019 pada pukul 12:30)

[2] Lisma, “Radikalisme dan Hukum di Indonesia”, http://www.iain-surakarta.ac.id/?p=13388 (diakses tanggal 15 November 2019 pada pukul 13.00)

Tentang Penulis

Mau tulisanmu dimuat juga?
banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...