Menilik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan menjadi Undang- Undang (UU)

1 August 2023 | 343
foto: dpr.go.id

Tertanggal 11 Juli 2023 pada Sidang Paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 telah disahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan menjadi Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang yang disahkan menjadi Undang-Undang memberikan respon publik yang cukup variatif. Baik respon dari masyarakat, penegak hukum sampai pada tenaga kesehatan. Salah satu pasal yang menjadi polemik dalam RUU menjadi UU adalah Pasal 462 ayat (1). Menjelaskan bahwa:

Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun”.

Sebelum membahas mengenai pasal terkait, maka kita perlu membahas bagaimana hubungan hukum dan/diantara pasien dengan dokter. Di dalam hukum medis hubungan hukum antara dokter dan pasien biasa disebut dengan perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik dapat diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan pada kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran. Perjanjian ini memiliki sifat dan ciri khusus, berbeda dengan berbagai perjanjian pada umumnya. Mengingat bahwa, orientasi dari perjanjian ini adalah bukan kesembuhan pasien, namun berfokus pada tindakan dan/atau upaya yang tepat yang dapat dilakukan untuk kesembuhan pasien.

Hakikatnya, dalam pelaksanaan perjanjian bisa saja proses dan/atau hasil akan menimbulkan sebuah penderitaan atau kerugian kepada pasien akibat dari sebuah kelalaian dan/atau kekurangan kehatian-hatian seorang dokter dalam melaksanakan profesinya. Faktanya, bentuk kelalaian berat yang dilakukan oleh dokter dapat merujuk pada Putusan Majelis Kasasi Mahkamah Agung Nomor 365/K/Pid/2012 terdapat tiga dokter yang terbukti lalai dalam hal pelaksanaan pelayanan medis secara profesional disebuah Rumah Sakit, yakni Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Kelalaian tersebut menyebabkan Julia Fransiska Makatey sebagai seorang pasien kehilangan nyawanya.

Dalam hal DPR mengesahkan RUU menjadi UU merupakan bentuk upaya (preventif) yang dilakukan agar meminimalisir tindakan-tindakan yang dinilai lalai yang dilakukan oleh seorang dokter dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal ini tertuang pada Pasal 462 ayat (1). Namun, disaat yang bersamaan pasal tersebut merupakan dua mata pisau bagi profesi dokter di Indonesia, yang mana sebelumnya pertanggungjawaban seorang dokter yang lalai dalam melaksanakan tugasnya merujuk pada doktrin vicarious liability. Doktrin vicarious liability menjelaskan ketika terjadi sebuah kelalaian yang dilakukan oleh seorang dan/atau sekelompok dokter yang sedang bekerja dalam suatu rumah sakit, maka rumah sakit tersebut juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan dokter yang lalai atas tindakannya.

Tentu, Pasal 462 ayat (1) dinilai akan bertolak belakang dengan doktrin vicarious liability. Mengingat, bahwa pada Pasal 462 ayat (1) hanya sang dokter lah yang dapat dimintai pertanggung jawaban secara langsung dan utama, namun dalam doktrin vicarious liability menjelaskan sebuah rumah sakit yang memberikan praktik kepada seorang dokter juga harus bertanggung jawab atas segala bentuk hal yang dilakukan dokter tersebut. Hal ini merujuk pada Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan:

Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya”.

Jika menilik pada Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata tentu jika terjadi sebuah kelalaian yang dilakukan seorang dokter yang sedang berpraktik di RS maka rumah sakit yang bersangkutan juga perlu mempertanggungjawabkan kelalaian seorang dokter tersebut. Adapun, perbedaan pertanggungjawaban atas dokter yang berpraktik disebuah RS dengan dokter yang memiliki praktiknya sendiri. Pasal 462 ayat (1) menjelaskan pertanggungjawaban seorang dokter secara umum baik dokter yang melakukan praktik di RS dan/atau dokter yang melakukan praktik atas namanya. Hakikatnya, Pasal 462 ayat (1) RUU dinilai dapat memberi kepastian hukum atas sebuah tindakan kelalaian yang dilakukan seorang dokter.

Adapun regulasi mengenai Pasal 462 ayat (1) tidak sepenuh nya buruk dan/atau tidak dapat diimplementasikan. Namun, memang harus adanya sebuah catatan revisi dan/atau regulasi penjelas mengenai Pasal 462 ayat (1) terkait klafisikasi dari sebuah kelalaian yang dimaksud dalam pasal tersebut. Adapun revisi dan/atau pasal penjelas diperlukan dengan pertimbangan bahwa hubungan hukum dan tujuan diantara seorang dokter dengan pasien ialah bukan kesembuhan pasien, namun berfokus pada tindakan dan/atau upaya yang tepat yang dapat dilakukan untuk kesembuhan pasien merujuk pada perjanjian terapeutik. Mengingat, bahwa tidak ada satu hubungan hukum yang dapat memastikan apakah seseorang itu dapat disembuhkan secara total atau tidak. Oleh karena hal tersebut, maka memang perlu adanya revisi dan/atau regulasi pelengkap mengenai Pasal 462 ayat (1), terkait kejelasan bagaimana bentuk kelalaian yang dapat dikenai pidana kepada seorang dokter dan bagaimana pertanggungjawaban rumah sakit atas dari seorang dokter yang melakukan praktik di rumah sakit tersebut.

Tentang Penulis
Salsa Nabila Hardafi

Seorang fresh gradute Fakultas Hukum Universitas Andalas. Telah memiliki pengalaman sebagai Penulis Legal Opini di Padang Ekspress dan Haluan Group dan memiliki pengalaman kerja sebagai Legal Staff di salah satu perusahaan swasta di Indonesia dalam bidang Konsultan Izin Tinggal dan Izin Kerja bagi WNA. Salsa aktif dalam beberapa kegiatan pro-bono di LBH Padang dan WCC Nurani Perempuan Padang
Mau tulisanmu dimuat juga?
banner-square

Pilih Kategori Artikel yang Anda Minati

View Results

Loading ... Loading ...