Oleh : Rijal Nurqoyyum, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta & Anggota JaTeam Batch 2
Dalam dunia akademik, HAKI atau hak atas kekayaan intelektual kita kenal sebagai hak eksklusif personal atau komunitas atas karya intelektual dengan memperoleh nilai ekonomis dari kreativitas intelektualnya. Istilah HAKI merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR), sebagaimana termaktub dalam undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual Property Right sendiri adalah pemahaman atau kognisi komprehensif mengenai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia. Hal tersebut memiliki hubungan atau korelasi yang inhern dengan hak seseorang secara personal yaitu hak asasi manusia (human right).
Kekayaan intelektual merujuk pada bentuk yang tidak tampak dan masih menjadi konsumsi pikiran. Akan tetapi, apabila telah diproses menjadi sebuah ciptaan kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan sebagainya, maka benda tersebut dapat menjadi sumber keuntungan ekomonis dan memperoleh hak kebendaan yang mutlak. Hal tersebut dapat ditinjau dari benda yang dapat diwariskan, pindah tangan, dan lain-lain.
Manifestasi dari implementasi HAKI terletak pada sertifikasi kreativitas atau karya intelektual yang dengannya diperoleh proteksi untuk menghindari berbagai tindakan-tindakan kriminalitas. Tindakan-tindakan kriminalitas dalam HAKI meliputi pemalsuan, pemboncengan reputasi (passing off), penjiplakan, pembajakan, dan aktifitas-aktifitas yang merugikan lainnya. Tindakan kriminalitas terkait hak atas kekayaan intelektual tidak sekedar merugikan korban, melainkan memberikan stigma atas buruknya etika negara Indonesia. Berbagai negara pun menjadi enggan bekerjasama dengan dalil rawannya kriminalitas HAKI di Indonesia.
Kasus kriminalitas HAKI sebenarnya sangat lumrah ditemui khususnya yang inheren dengan hak cipta dan hak paten. Berdasarkan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), industri perfilman Indonesia mengalami kerugian hingga Rp 1,495 triliun per tahun akibat pembajakan film. Pembajaka tersebut minimal terjadi di empat kota yakni Jakarta, Bogor, Medan dan Deli Serdang. Dalam kasus lain, ditemukan beragam duplikasi produk tas bermerk asal Amerika di Ciawi Jawa barat. Dalam dunia ekonomi pasar tradisional, bisa ditemukan ribuan produk-produk tiruan yang merajalela di pelosok-pelosok pasar Indonesia.
Beragam kasus pelanggaran HAKI yang ada di Indonesia merefleksikan lemahnya pengawasan ekonomi dan buruknya supremasi hukum HAKI di Indonesia. Hal ini tidak hanya menjadi stigma buruk dari negara lain, namun dapat berimbas pada lemahnya kecenderungan perusahaan-perusahaan internasional untuk bekerjasama dengan Indonesia. Lumrahnya pelanggaran HAKI memiliki daya yang kuat untuk merusak potensi Indonesia. Mengapa tidak, berbagai problem HAKI di Indonesia menyebabkan rusaknya iklim industri perdagangan Indonesia. Persaingan ekonomi yang tidak sehat, menurunnya mutu dan produktivitas tak luput menjadi momok yang instens menyerang. Pada puncak yang paling dikhawatirkan adalah bobroknya harkat dan martabat Indonesia di mata peradaban milenial dunia.
Revitalisasi hak dan kekayaan intelektual menjadi solusi yang tak terelakan. Hal ini memiliki urgensi yang tinggi mengingat kita menjunjung tinggi adab sebagaimana dalam sila ke-3 pancasila. Indonesia pula adalah negara hukum namun HAKI masih saja menuai kontroversi. Hal yang harus kita kukuhkan bersama adalah meningkatkan supremasi hukum sesuai dengan konstitusi yg berlaku. Kita pula harus mendorong paradigma nasional menjaga hak atas kekayaan intelektual. Kita memerlukan aparat yang aktif dan progresif guna menangkal dan menangani segala bentuk pelanggaran HAKI yang telah lama lumrah. Segala upaya perlu kita kerahkan guna memperbaiki atmosfer HAKI yang erat dengan ekonomi dan akademik. Semoga segala upaya merevitalisasi HAKI dapat menjadi pemicu refleksi Indonesia yang hakiki.